PEMAHAMAN salah kaprah banyak anak bangsa selama ini adalah menganggap Jakarta sebagai baromoter kesuksesan pembangunan. Oleh karena itu Jakarta menjadi demikian dinamis dan di sisi lain membuat problematika sosial samkin runyam.
Berbagai persoalan mendera Jakarta, mulai dari urbanisasi, anak terlantar, warga terpinggirkan, kepadatan penduduk termasuk bangunan yang tidak menyisakan LHT (lahan hijau terbuka), demikian pula terjadi kemacetan lalu lintas luar biasa, terutama saat jam-jam kerja, dan arus mudik yang semakin mebludak dari tahun ke tahun.
Semua itu fenomena yang dapat dilihat dan dirasakan di Ibu Kota Jakarta dan sekitarnya. Sebuah fenomena yang bukan mustahil disumbangkan oleh bermacam keputusan pemerintah pusat dan daerah dalam mengemban amanah rakyat.
Urbanisasi merupakan kegiatan yang membuat membengkaknya tenaga kerja di wilayah Jakarta dan sekitarnya. Tahun ini para pekerja atau pencari nafkah asal berbagai daerah itu akan kembali mudik. Jumlah mereka tentu dari tahun ke tahun semakin banyak. Merupakan ssesuatu hal yang cukup wajar meningkatkan jumlah perantau di Jakarta, karena “kue” pembangunan memang terserap amat besar di Jakarta dan sekitarnya (Jabodetabek).
Sebentar lagi mereka tentu seperti biasa akan mudik. Jutaan manusia akan melakukan mobilitas luar biasa, terutama di jalan-jalan raya. Hiruk pikuk mudik pun akan kembali menghiasi pemberitaan media massa lengkap dengan bermacam problematik yang menyertainya.
Jumlah pertumbuhan penduduk dan kendaraan pribadi yang demikian pesat bak deret hitung, sedangkan peningkatan sarana prasarana jalan hanya berdasar deret tambah, sehingga terjadi ketidakseimbangan di antara keduanya. Dari fenomena ini dapat ditebak apa yang akan terjadi, yaitu di antaranya kepadatan, kemacetan, kesemerawutan, dan tentunya ketidaknyamanan.
Jika ditilik dari konsep/teori psikologi sosial, maka kondisi masyarakat yang sering berhadapan fenomena situasi kegalauan bahkan kerisauan seperti tersebut bukan tidak mungkin turut andil atau mempengaruhi pada pembentukan karakter manusia Indonesia yang serba instan dan bermental menerabas sebagaimana para pakar mensinyalirnya.
Saatnya pemerintah bersama para elite berpikir matang, bekerja keras menyusun rencana yang lebih sistemik (pinjam istilah kasus Century yang mulai dilupakan) agar problema sosial yang melanda Jakarta khususnya teratasi dengan menyeluruh (comprehensive solution).
Penyelesaian persoalan di Jakarta haruslah lintas sektor dan provinsi. Artinya perlud dibawah kendali langsung pimpinan tertinggi bangsa ini, yakni sang Presiden RI. Kesigapan, kecepatan sekaligus kecermatan perlu ditunjukkan sang Pemimpin dalam mengkoordinasi jajaran-jajaran yang berperan penting dalam solusi ini.
Oleh karena itu, kiranya pemerintah sudah harus memikirkan untuk lebih fokus mengembangkan pembangunan ekonominya jauh dari wilayah Jakarta. Salah satu usulan adalah memisagkan antara kota pemerintahan dan sentra bisnis dan industri. Jakarta boleh saja tetap menjadi Ibukota atau pusat pemerintahan tetapi sentra industri, perdagangan dan pertanian perlu dibuatkan jauh dari Jakarta, Jika perlu diluar Jawa. Insentif, kemudahan bagi pelaku industri diperlukan termasuk juga dibutuhkan kebijakan yang tepat oleh pemerintah agar mereka (pelaku usaha) mau tidak mau, suka tidak suka bersedia pindah ke wilayah lainnya.
Dengan demikian perlahan tapi pasti Jakarta nantinya mungkin hanya sebagai kota pemerintahan saja tetapi pusat industri, bisnis dan pertanian berada jauh dari Jakarta. Solusi sistemik bukan hanya dianjurkan tetapi sudah sangat mendesak untuk diterapkan jika kita ingin mengatasi persoalan akut ini.
Sekarang ini tampaknya berbagai persoalan masih ditangani secara responsif tidak sistemik!
(Aries Musnandar, Pascasarjana UIN Maliki Malang)