BEBERAPA waktu lalu sebuah Koran Nasional edisi Minggu menyajikan liputan tentang pendidikan dengan menurunkan dua tulisan saling terkait yaitu, pertama berjudul ‘Siswa bersaing bimbel bertanding’ dan kedua ‘Tidak mungkin menjamin diterima’.Reportase dan liputan media massa terbitan Jakarta itu pada intinya mengungkapkan kegundahan dan kegusaran siswa apalagi orang tua dalam menghadapi Ujian Nasional (UN) dan pendaftaran masuk perguruan tinggi. Bagaimana tidak? Jumlah murid/siswa tingkat SMA sangat banyak sementara daya tampung perguruam tinggi terbatas. Belum lagi pandangan masyarakat yang hanya terpaku pada perguruan-perguruan tinggi favorit, membuat persaingan masuk perguruan tinggi semakin ketat.
Fenomena mulai menjamurnya lembaga bimbingan belajar (bimbel) di Indonesia sedikit banyak dipengaruhi kondisi pendidikan pada periode tahun 1970 an. Sejumlah perguruan tinggi negeri ( PTN) bergabung membentuk sekretariat bersama penyelenggara tes masuk 5 (lima) PTN yang disingkat SKALU. Pandangan masyarakat tentang kelima PTN yang dianggap favorit turut andil dalam menambah minat lulusan SMA mendaftar di SKALU. Alhasil, jumlah antara peminat dan kapasitas kursi yang tersedia di PTN itu jelas tidak sebanding.
Situasi persaingan tersebut cukup mencemaskan orang tua dan menyita perhatian siswa kelas 3 SMA yang menginginkan studi di PTN favorit dengan mempersiapkan diri mengikuti pelajaran tambahan (les) di sekolah. Tetapi tidak semua sekolah membuat les disamping karena waktu guru yang terbatas, para siswa pun merasa bosan apalagi kalau guru yang mengajar kurang mampu dan tidak menarik menyampaikan materinya. Siswa-siswa cerdas dan guru-guru berkualitas tidak tersebar merata, hanya sekolah tertentu saja yang meilikinya. Walaupun demikian siswa-siswa yang cerdas itu pun tidak memiliki percaya diri yang tinggi mereka berbondong-bondong justru ikut bimbingan tes.
Fenomena yang dipaparkan diatas boleh jadi malah menguntungkan pihak penyelenggara bimbingan tes.Mengapa? Karena bukan tidak mungkin bahwa siswa-siswa yang mendafat termasuk siswa yang sudah cerdas dan berprestasi di sekolah. Sehingga pihak bimbingan tes sangat senang menerima mereka. Nanti saat pengumuman hasil tes PTN dengan bangganya pihak bimbingan tes mengklaim bahwa siswa asuhan mereka sukses besar diterima di PTN-PTN yang diinginkan. Propaganda semacam ini yang membuat bimbingan tes (bimbel) tak pernah kurang peserta. Padahal, jika dicermati pelaksanaan bimbingan yang mereka lakukan belum tentu lebih baik dari sekolah-sekolah tempat para siswa menimba ilmu. Bahkan, pengajar bimbel banyak yang tidak mengerti bagaimana cara mengajar yang baik (karena memang bukan dari sekolah keguruan).
Terlebih lagi sistem pengajaran klasikal yang diterapkan pada bimbingan tes itu sama juga dengan sistem yang diadakan di sekolah dimana sistem tersebut kurang efektif bagi siswa yang kurang cerdas. Sementara jika mereka ingin bertanya sesuatu yang tidak dimengerti tentang pelajaran secara psikologis mereka merasa malu bertanya kepada sang pengajar bimbel. Peserta bimbel berasal dari berbagai sekolah, mereka tidak begitu akrab dan anak yang tidak dididik untuk menyampaikan persoalan akan terasa enggan bertanya. Lain halnya jika pelajaran tambahan diberikan secara privat atau semi pribat (kelompok kecil) yang terdiiri dari teman-teman dekatnya di satu sekolah atau berlainan. Dengan model seperti ini membuat siswa yang kurang mengerti pelajaran akan “lebih berani” bertanya kepada sang pengajar. Sehingga dalam hal ini pengajar harus benar-benar yang siap secara materi dan tekknik mengajarnya.Metode seperti ini pernah penulis lakukan saat mendirikan bimbingan belajar di Jakarta dan cukup efektif.
Dilaporkan bahwa ada bimbel yang membuat program eksklusif dengan jaminan 100% uang kembali jika tidak diterima di PTN. Cara-cara seperti ini menurut saya adalah teknik “menjual” bimbel yang sudah biasa dilakukan untuk menarik para siswa sekolah. Mungkin promosi bimbel akan lebih bagus misalnya seperti inil jika siswa tidak diterima di PTN yang diinginkan maka uang bimbingan akan dikembalikan plus ganti kerugian sebesar dua kali lipat dari uang bimbingan.. Biasanya mereka (bimbel) sudah mengetahui terlebih dahulu mana anak yang cerdas mana yang kurang. Jadi, anak yang dasarnya memang sudah cerdas akan dapat dimanfaatkan untuk mengangkat prestasi bimbel.itu sendiri.
Penulis dahulu juga seorang praktisi bimbel, namun dengan pengetahuan dan pengalaman penulis tentang dunia pendidikan, dengan kesadaran dan berbicara hati pada gati nurani penulis meninggalkan dunia ini. Padahal, saat itu sedang laris-larisnya. Idealisme penulisa sebagai mahasiswa (saat itu) yang tidak menyukai komersialisasi pemdidikan membuat penulis tidak ingin kembali lagi ke dunia bimbel. Dalam pandangan penulis, pemerintah sudah sepatutnya menghindari upaya-upaya komersialisasi di sejumlah sector kehidupan paling tidak pada sektor pendidikan, kesehatan masyarakat (rumah sakit) dan transportasi umum (mass transportation).
Komersialisai pendidikan adalah salahsatu persoalan pendidikan di Indonesia saat ini. Disamping itu terdapat persoalan mendasar pendidikan yakni konsep pemerintah dalam “mendidik” anak-anak bangsa di sekolah dan lembaga pendidikan tinggi yang tampaknya hanya berorientasi pada wawasan kognitif semata. Misalnya penyelenggaraan dan materi ujian nasioanl (UN) yang mencerminkan pemerintah lebih menitik beratkan dan menaruh perhatian pada faktor kecerdasan intelektual. Padahal berbagai literatur tentang pendidikan mengungkapkan bahwa faktor kecerdasan intelektual menyumbang 20% saja dari suksesnya seseorang dalam melakukan pekerjaan. UN yang lebih fokus pada pelaksanaan “paper n pencil test” inilah yang membuat bimbel menjamur.
Pemdidikan yang baik seharusnya memiliki arah jelas bagi pengembangan beragam kecerdasan manusia (multiple intelligence). IQ (intelligence quotient) yang merupakan penjabaran dari kemampuan inetelektual dan akademik siswa dalam literatur pendidikan hanyalah sebagaian dari kecerdasasan yang dimiliki manusia. Adalah Howard Gardner yang menemukan delapan kecerdasan di dalam diri manusia, Dalam kesempatan ini tentu kita tidak akan bahas berbagai kecerdasan itu.
Yang menjadi titik tolak penulisan opini adalah sebagai respon dari liputan sebuah Koran terkemuka di Indonesia yang mengulas keberadaan bimbel. Penulis berpendapat menjamurnya lembaga bimbel (LBB) bukan berarti pendidikan kita makin baik justru sebaliknya. Oleh karena itulah tidak heran jika ada temuan yang mengungkapkan bahwa biaya terbesar orang tua atau masyarakat dalam pendidikan anak-anak mereka ternyata bukan di sekolah melainkan di lembaga-lembaga bimbingan belajar (LBB) yang mengajarkan cara cepat menyelesaikan soal-soal ujian melalui konsep drilling (Nathan 2002).
Fokus kegiatan di LBB ini hanya berorientasi pada pencapaian nilai/skor ujian tertinggi dan bersifat sesaat. Padahal, menurut teori pendidikan konsep drilling ini adalah tingkatan wawasan kognitif paling rendah dalam proses pembelajaran dan hasil belajar siswa. Karena karut marut kebijakan pendidikan kita ini membuat masyarakat pemakai jasa pendidikan resah dan akhirnya pengeluaran biaya masyarakat untuk LBB demikian besar, sementara itu di lain pihak LBB berhasil memanfaatkan situasi kegundahan masyarakat dan menjadikannya sebagai peluang bisnis. Akhirnya, terjadilah fenomena dan praktek-praktek komersialisasi pendidikan oleh LBB yang tumbuh subur di negeri ini.
Telah sekian dasawarsa persoalan materi ujian seperti UN yang lebih bertitik tolak pada ranah kognitif ini berlangsung di Tanah Air. Ujian akhir SMA dan ujian masuk perguruan tinggi masih berkutat pada materi-materi yang mengukur aspek kognitif. Sedangkan untuk pengukuran ranah afektif dan psikomotorik tampaknya belum dan bukan menjadi prioritas pendidkan nasional kita. Di sekolah-sekolah hingga LBB dan perguruan tinggi kegiatan pembelajaran lebih menumbuhkembangkan konsep drilling dan memory (hafalan) siswa/mahasiswa. Hal ini memang sangat diperlukan tatkala mereka menghadapi ujian atau berupa “paper and pensil test”. Oleh karena itu kegiatan di lembaga-lembaga pendidikan kita berorientasi pada melatih dan mengulang-ulang jawaban dari soal-soal.
Disadari atau tidak disadari , pendidikan di Indonesia identik dengan hafalan berbasis “kunci Jawaban” bukan pada pengertian apalagi pemahaman kognitif tingkat tinggi yakni evaluasi. Robert M. Gagne membagi penguasaan kognitif menjadi lima tingkatan (pengetahuan, pemahaman, analisis, sintesis dan evaluasi). Se,mentara itu konsep drilling dan hafalan baru termasuk dalam tingkatan pengetahuan, jadi merupakan tingkatan kognitif taraf rendah/ Penyelenggaraan UN termasuk tes masuk PT semua berbasis hafalan dan drilling. Oleh karena itu memang sulit menjadikan hasil pendidikan kita berkualitas yang seharusnya dapat memecahkan persoalan bangsa yang begitu berat dan multidimensi ini.
Aries Musnandar, Mantan Pendiri dan Pimpinan Bimbingan Belajar Aries Group di Jakarta)