Saya dan mungkin juga Anda yang pernah mengecnyam pendidikan di bangku sekolah dasar dan menengah menemukan fenomena murid-murid yang berjingkrak riang gembira mengekspresikan kesenangannya jika guru yang seharusnya mengajar tapi tidak masuk kelas. Demikian pula para murid akan senang luar biasa jika diumumkan bahwa sekolah libur. Senyatanya peristiwa semacam ini tampak berlanjut hingga sekarang dan menunjukkan kepada kita betapa sekolah menjadi momok menakutkan (horror of the day). Lepas dari urusan sekolah menjadi sesuatu yang sangat membahagiakan mereka. Belajar disekolah seakan “terpaksa”. Setelah libur panjang yang menyenangkan, tidak ada pilihan lain bagi mereka selain kembali ke bangku sekolah dan kembali ke maslaah. Fenomena diatas tentu tetap saja berulang dan terulang lagi sebab tidak terjadi pembenahan signifikan oleh pemangku kepentingan. Kiranya kegiatan mengajar guru mesti diarahkan pada sesuatu pembelajaran yang menyenangkan (joyful learning) bagi murid. Kalau tidak maka jangan harap kita temukan anak-anak usia sekolah yang ceriah menyambut datangnya waktu belajar di bangku sekolah. Pada gilirannya kualitas pendidikan kita tidak akan membaik secara luas dan merata.
Kualitas dan kuantitas guru dapat saja menjadi salah satu aspek yang patut dicermati. Kualitas guru dalam arti penguasaan dan penyampaian materi. Sudahkah kualitas guru di sekolah sesuai dengan persyaratan kompetensi yang ditetapkan dalam sertifikasi guru. Sedangkan yang dimaksud dengan kuantitas guru adalah seberapa banyak jumlah guru bidang studi yang tersedia. Menurut hemat penulis di kota-kota besar saja masih ada bidang studi tertentu yang tidak dajarkan oleh guru yang sesuai. Misal, guru matemtika ‘terpaksa’ (dipaksa sekolah) untuk mengajar Bahasa Indonesia karena guru bidang studi tersebut terbatas dan belum tersedia yang sesuai kompetensinya. Disinilah terjadinya masalah yang saling berkaitan antara kualitas dan kuantitas guru di sekolah. Belum lagi tentang cara penyampaian materi oleh guru yang menoton dan tidak menarik membuat murid jemu sehingga pelajaran menjadi membosankan.
Berdasarkan statistik Kementerian Pendidikan Nasional terdapat sekitar 41% dari l1 juta lebih gedung sekolah yang tidak layak dengan fasilitas yang jauh dari memadai. Ini berarti murid dan guru tidak akan tenang dan nyaman melakukan aktivitasnya di kelas dalam situasi gedung dan fasilitas memprihatinkan . Dalam gedung yang darurat dan faslitas minim tentu tidak dapat diharapkan menghasilkan keluaran yang optimal. Demikian pula suasana belajar tentu akan terpengaruh oleh kondisi fisik dan fasilitas sekolah itu.
BUKAN rahasia lagi bahwa dunia pendidikan kita sangat mudah dijadikan objek bisnis bagi sebagian orang. Mulai menjamurnya bimbingan belajar (tes), uang masuk sekolah yang selangit, hingga digantinya buku-buku pelajaran dengan yang baru. Semua itu tentu menjadi beban murid (orang tua). Seperti biasa, penyelenggara pendidikan selalu siap dengan berbagai dalih jitu yang dapat dianggap sebagai pembenaran munculnya ”proyek” bisnis tersebut. Sekolah sudah menjadi ajang transaksi bisnis yang membuat orangtua stres dan kecewa namun tak dapat berbuat banyak karena harus menyekolahkan anaknya. Kekecewaan orangtua ini boleh jadi dilihat dan diarasakan oleh anaknya, sehingga ketika di sekolah anak tersebut memendam kejengkelan dengan sekolah.
Berbagai hal diatas bukan tidak mungkin menambah kerunyaman persoalan sehingga kembali ke sekolah kembali ke masalah masih merupakan keniscayaan yang terjadi di blantika pendidikan nasional kita ini.
Aries Musnandar
Mhs Manajemen Pendidikan PPs UIN Maliki Malang