Memahami Islam dalam Realitas Pemikiran, Perilaku dan Tradisi

oleh : Prof. Dr. H. Roibin, M.HI

Apa yang kita ketahui tentang Islam, ruang lingkup islam? Apakah objek studi Islam hanya ada dalam nas/ teks, atau islam juga terdapat dalam realitas, baik dalam realitas pemikiran, perilaku maupun tradisi?

Sebab, bagi Prof. Roibin, anggapan tentang islam hanya terdapat dalam teks (al-nash) akan melahirkan cara pandang islam secara tekstual, skriptural, literal, artifisial, harfiyah. Memahami Islam secara deduktif (top down). Sementara memahami islam dengan menghubungkan pada masalah realitas (al-waaqi’iyyah) akan melahirkan cara pandang islam secara kontekstual (bottom up). Model pertama akan melahirkan pendekatan normatif-teologis dan kedua melahirkan pendekatan empiris-sosiologis.

Dari mana kita memulai belajar tentang Islam? Dari ilmu kalam, tasawuf, fiqh atau dari sumber otoritatif al-Quran dengan mengkajinya secara bersamaan. Sebab masing ilmu berpotensi melahirkan perbedaan pemahaman dalam Islam. Belajar Islam dimulai dari fiqh misalnya, akan mengenalkan kita terbiasa melihat corak pemahaman fiqih yang beragam, setidaknya empat madzhab, Imam Hanafi, Imam Maliki, Imam Syafi’i, dan Imam Hambali, maupun imam imam yang lain. Masing-masing telah mengundang kecenderungan dan akan membawa ke arah sikap fanatik pada pengikutnya. Seakan agama kita terpolarisasi ke dalam empat bingkai keagamaan tersebut. Kalau ditanya agamamu apa, jawabnya agamaku adalah Imam Syafi’I, Imam Hanafi, dst.

Kalau kita memulai dari tradisi ilmu kalam, juga tidak berbeda jauh. Dari ilmu inipun akan mengenalkan kita pada keragaman madzhab kalam, antara lain faham mu’tazilah, murjiah, maturidiyah, jabariyah, ahlus sunnah, maupun syi’ah. Efek keragaman kalam inipun tidak sederhana bagi munculnya fanatisme keyakinan pada masing-masing ideologinya. Kekerasan, konflik, intoleran, bahkan pertumpahan dari terjadi karena kuatnya fanatisme pada masing-masing faham kalam ini.

Kalau kita berislam dimulai dari tasawuf, kita juga dihadapkan pada pilihan tasawufnya al-Ghazali, Mula Sadra, Zuhrowardi, Dunnun al-Misri, Ibnu ‘Arabi dll. Semua bidang ilmu keagamaan telah menunjukkan adanya keragaman berpikir dan bertindak. Ataukah memang keragaman itu semua memang sebagai sebuah keniscayaan yang akan terjadi dalam sebuah peradaban dan kebudayaan manusia?

Apa sesungguhnya watak dan karakteristik Islam? Mengapa Islam yang sebenarnya memiliki watak kohesivitas sosial, yaitu sikap kerukunan, kasih sayang, kebersamaan, empati sosial, kesetaraan, toleran, dan kedamaian, tiba-tiba yang terekspresikan dalam realitas selalu menunjukkan sikap kekerasannya, cenderung konflik, radikal, fundamental, dan intoleran?

Islam sesungguhnya memiliki dua dimensi sekaligus yang melekat dalam teks keagamaannya, yaitu dimensi legal spesifik yang bersifat partikularitas dan dimensi ideal moral yang bersifat generalitas dan universalitas. Dimensi partikularitas atau legal spesifik teks adalah dimensi yang menunjuk pada aspek lokalitas yang bersifat dinamis dan mengalami pergeseran dan perubahan terus menerus seiring dengan perkembangan budaya dan peradaban manusia. Sedangkan dimensi universalitas teks atau ideal moral adalah dimensi yang menggambarkan pesan moral ayat yang bersifat abadi dan qot’i. Ia tidak akan mengalami perubahan meski di hadapkan pada ruang dan waktu yang berbeda.

Produk pemikiran islam pasca abad pertengahan tidak lagi dianggap sebagai produk yang dapat berkelindan di tengah perhelatan sains, sebab di mata dunia Barat produk-produk pemikiran masyarakat muslim terlalu masuk dalam aspek ideologis subjektif. Sehingga gagasan yang dihadirkan cenderung bercorak dakwah.

Islam sebagai representasi agama, dalam faktanya islam banyak dinilai dan dihayati sebagai sistem nilai (pattern for behavior), sementara islam sebagai sistem kognisi (pattern of behavior), dalam kenyataannya banyak yang diabaikan oleh para pemeluknya. Sehingga islam identik dengan nalar agama yang terbatas menyuguhkan dimensi ajarannya an sich dan mengabaikan dimensi ilmu yang terakumulasi sedemikian kuatnya dalam islam.

Dari kegelisahaan akademik yang teramati dalam realitas sosial inilah menurut Prof Roibin akan melahirkan corak atau pola studi kajian Islam kontemporer yang beragam dan kadang saling melemahkan, sebagaimana yang berkembang di Indonesia belakangan ini. Beberapa fakta mengenai kajian islam kontemporer selama ini cenderung didominasi oleh :

Pertama model kajian islam bercorak dogmatis-teologis. Model kajian ini menempatkan Islam sebagai sebuah entitas ajaran atau sistem nilai yang harus diimani secara mutlak tanpa memerlukan ruang gerak pemikiran dialektik didalamnya. Islam sebagai ajaran yang telah diimani memerlukan adanya ritual, yaitu cara mengamalkan ajaran dalam kehidupan sehari-hari. Sikap mengamalkan ajaran dianggap jauh lebih bermakna dibandingkan dengan usaha untuk memahami dan menggali makna islam dari sumbernya.

Model kajian ini sangat potensial melahirkan para pengamal ajaran agama yang fanatik, tertutup, dan eksklusif. Islam dibingkai dengan tafsir tunggal yang monolog, dengan menutup rapat kemungkinan munculnya ruang penafsiran baru. Pada level ini Islam sebagai sebuah dogma yang harus diimani dengan kuat oleh masing-masing pengamal ajaran keagamaan telah terasa dan masuk dalam keyakinan emosional mereka yang terdalam.

Model kajian ini akan melahirkan perilaku radikal, fundamental, sarat konflik, dan intoleran.  Islam idealnya datang dengan watak kohesifitas sosialnya, penuh sikap ramah, kasih sayang, toleran, adil, setara, rukun, dan pecinta damai, tiba-tiba menampakkan sikap sebaliknya, yaitu keras dan suka konflik. Inilah alasan mengapa islam yang tampil dalam sebuah peradaban menunjukkan sikap kerasnya.

Dari perspektif pembacaan epistemologis, model kajian ini banyak menuai titik kelemahannya, mulai dari ruang lingkup objek studinya hingga kerangka pendekatan metodologinya. Dilihat dari aspek objek material studi islam, model ini hanya memfokuskan islam terbatas pada objek teks, yauudu ila al-quran wa al-hadits. Sementara metode kajiannya kering dari sentuhan teoretik bercorak sosio-antroposentris. Model kajian yang tidak memerlukan corak pendekatan metodologi tertentu, sebab Islam dalam teks di mata pengamal agama ini tidak memelukan kajian kritis namun yang diperlukan adalah pengamalannya.

Istilah “ngaji” yang terjadi di sebagian besar komunitas pesantren termasuk di tengah kehidupan masyarakat menggambarkan salah satu contoh riil bahwa islam di mata pemahaman agama model ini lebih ditekankan pada keimanan dan sekaligus pengamalannya.

Kedua, model kajian islam bercorak dialektik-kritis. Model kajian ini menempatkan islam sebagai layaknya sains, kadang dipandang sebagai objek kajian yang bebas nilai, kadang dicandra sebagai layaknya sains pada umumnya. Sebagaimana sifatnya, sains selalu terbuka kritik dari pemahaman, pemikiran, dan penggalian makna yang dilakukan oleh para pemaham agama. Model kajian islam sepertinya biasa dilakukan oleh para islamolog, baik dari kalangan muslim maupun non muslim, para orientalis Barat. Mereka memandang islam bukan semata sebagai sistem nilai (pattern for behavior), namun juga menjadi bagian dari sistem kognisi (pattern of behavior).

Islam sebagaimana yang tertuang dalam tek al-quran yang sangat otoritatif, dalam perspektif mereka ia bukanlah sesuatu yang sangat sakral, membumbung tinggi dan suci, namun ia adalah narasi sosio-historis yang dibangun di atas data-data sosio-antropologis dari kehidupan spesifik masyarakat Arab dan lingkungannya. Untuk dapatnya melahirkan pemahaman yang mendalam dan holistik diperlukan adanya dialektika terus menerus antara teks dan konteks sesuai dengan perkembangan zaman dengan nalar kritisnya. Nalar yang terbebas dari cengkeraman dogmatisme dan fanatisme, baik dalam konteks ideologi, keyakinan, maupun faham apapun.

Model kajian ini berpotensi membawa pemahaman islam lebih progresif, dinamis dan holistik. Progresif dan dinamis menggambarkan keterbukaan varian kajiannyanya (multidisipliner, interdisipliner, dan transdisipliner), sementara holistik menggambarkan luasnya cakupan dan ruang lingkup kajiannya. Islam dalam perspektif model kajian ini bukan hanya dibatasi pada objek kajian teks, namun juga islam yang ada dalam pemikiran, gagasan, ide, pandangan para aktor Islam, demikian juga islam yang ada dalam perilaku dan adat kebiasaan masyarakat islam.

Model kajian ini telah melahirkan dua kutub pendekatan studi islam, yaitu kutub studi normati (deduktif) dan studi empiris (induktif). Dari hasil-hasil kajian model ini telah ditemukan adanya gap antara tek dan kontek, tek tidak selamanya akur dan sejalan dengan konteks. Inilah alasan mendasar diperlukannya suatu aktor dari kalangan elit agama sebagai jembatan yang dapat menjadi media penghubung antara teks dan konteks. Hubungan relasionalitas antara teks dan konteks secara simultan yang dapat menegasikan kontradiksi keduanya telah membuktikan hadirnya pesan moral nilai-nilai universalitas dan aktualitas al-quran.

Model kajian ini sebagai antitesis dari model kajian dogmatik-teologis. Model kajian yang menempatkan teks keagamaan islam mengalami pergeseran paradigma, teks yang semula dipandang sakral berubah menjadi netral, dari dogma bergeser menjadi data, dan dari keyakinan ideologis berubah menjadi fakta akademik rasionalistik.

Ketiga, model kajian Islam bercorak subjektif-apologetik. Model kajian ini lahir dilatarbelakangi oleh kecurigaan yang berlebihan terhadap para islamolog yang memandang islam sebagai entitas ilmu pengetahuan murni atau sebagai unsur eksternal yang tidak memiliki hubungan emosional-ideologis dengan pemeluknya.

Kajian islam yang dilakukan oleh komunitas islamolog di mata model kajian ini dianggap sebagai kajian yang telah mengambil jarak terlalu jauh antara islam sebagai ajaran dan pemeluk islam sebagai pengamal agama. Pemahaman Islam yang tidak melibatkan aspek emosional idiologis dan teologis di mata pendekatan subjektif-apologetik akan melahirkan keberanian liar dalam memahami teks keagamaan. Dengan demikian produk pemahaman keagamaan diidentikkan dengan produk-produk pemahaman keagamaan liberal.

Fenomena ini dalam perspektif model kajian tersebut tidak terlepas dari misi sekularisme, westernisme, dan kapitalisme, yang selalu mengusung pemikiran liberal di kalangan para islamolog. Kecurigaan yang mendalam inilah yang melahirkan model kajian islam subjektif-apologetik. Apapun produk pemikiran yang lahir dari rahim para islamolog telah dituding secara subjektif apologetik sebagai produk pemikiran keislaman yang mengancam eksistensi islam sebagai sebuah ajaran. Model kajian ini pada hakikatnya memiliki efek perilaku sosial keagamaan yang tidak jauh berbeda dengan model dogmatik-teologis. Kedua-duanya berpotensi memunculkan sikap keras, tertutup, dan fanatik dalam beragama. Sikap radikalisme, fundamentalisme, dan konflik acapkali lahir dari rahim model kajian ini.

Keempat, model kajian islam Islamization of Knowledge. Model kajian ini berusaha sedemikian rupa untuk melekatkan ayat-ayat al-quran sebagai dasar teologis pada produk-produk ilmu yang dipandang masih sekuler. Islam di pandang oleh model kajian ini sebagai sistem nilai yang dapat mengendalikan ilmu dari potensi sekuler dan liarnya.  Islam hadir, bukan dalam rangka menjadi perspektif teori yang berfungsi untuk menjelaskan fenomena sehingga melahirkan ilmu baru, namun islam dalam hal ini sebatas berfungsi pemberi nilai dan kadang justifikasi. Islam hanya menjadi fungsi lipstik dan asesoris yang ditempelkan secara paksa untuk menandai bahwa ilmu dimaksud mengandung nilai-nilai islam.

Islamisasi sains dalam penjelasan di atas menggambarkan keterbatasan kontribusi islam dalam sains. Islam hanya menjadi fungsi lipstik dan asesoris semata dalam sains. Model ini telah banyak menuai kritik dari komunitas akademisi yang kritis, sehingga memerlukan adanya pembaruan dan penyempurnaan ulang.

Kelima, model kajian islam integration of islam and science. Model kajian Islam holistik integralistik yang merupakan keniscayaan dalam kajian islam kontemporer. Model kajian ideal yang pernah dilakukan dan dialami oleh para ilmuan awal. Model kajian islam demikian dibutuhkan adanya generalisasi sains. Keilmuan yang dibangun harus lebar dan mendalam. Lebar berarti menguasai berbagai bidang keilmuan yang berfungsi sebagai jendela pandang dan perspektif yang multiinterdisipliner. Mendalam dalam arti setiap disiplin keilmuan meniscayakan adanya penguasaan keilmuan seakar-akarnya. Setiap aktor keilmuan di era awal hampir dipastikan menguasai berbagai disiplin ilmu yang standard. Mereka menguasai agama, tapi juga menguasai filsafat, astronomi, sosiologi, geografi, kedokteran, psikologi, kalam, tasawuf, metafisika, metodologi, Bahasa, dll. Atau setidaknya multidisipliner dari latar keilmuan serumpun.

Berpikir dengan menggunakan paradigma integrasi agama dan sains telah melibatkan nalar berpikir holistik-integralistik, baik secara substantif maupun metodologis. Secara substantif masyarakat muslim dituntut untuk melebarkan sayap kajian keislamannya, bahwa islam bukan hanya teks namun juga persoalan-persolan konteks yang mengitari teks yang begitu konpleks, sementara secara metodologis masyarakat muslim harus mengenali dan mendalami varian pendekatan metodologis yang berkembang secara dinamis.

Dengan begitu dapat disimpulkan bahwa spirit kajian Islam dengan berbagai varian dan pendekatan yang dilakukan secara pereodik dari generasi ke generasi telah menjadi watak khas model kajian Islam yang berkembang hingga belakangan ini. Meskipun setiap generasi telah memiliki produk pemikiran Islam yang seakan memiliki sejarahnya sendiri secara khusus–mengingat kuatnya pengaruh situasi dan kondisi sosio-kultural yang mengitarinya–, namun masing-masing telah terpotret sebagai sebuah model kajian keislaman.

Watak kajian keIslaman yang berusaha melakukan perpaduan dialektik-negosiatif-kompromistik antara konteks lokalitas dengan teks keislaman akan menciptakan sinergitas di antara keduanya. Meski di sana sini tidak menutup kemungkinan sebagian elit Islam masih berasumsi bahwa relasi keIslaman dan lokalitas menggambarkan hubungan dua entitas budaya yang saling berhadap-hadapan secara ekstrem.

Tak aneh jika kajian Islam yang tersebar di berbagai institusi keislaman telah mengalami pergeseran paradigma yang signifikan, termasuk kerangka metodologi studi Islam yang ada telah mengalami proses metamorphosis dari generasi ke generasi selanjutnya. Kajian islam dengan pendekatan  tradisional misalnya dalam bentuk sorogan, halaqah-halaqah. dengan cara monolog dan searahkarena perkembangan zaman, maka usaha untuk melaukan reformulasi dan modernisasi Islam terjadi hampir di semua institusi Pendidikan Islam.

Perbedaan pandangan antar pemikir mengenai konsepsi Islam dan metode serta pendekatan memahami Islam menjadi sebuah keniscayaan sekaligus telah menandai adanya perhelatan akbar tradisi intelektual yang mapan. Usaha ini semua dilakukan dalam rangka untuk melengkapi arah dan tujuan kajian Islam, baik yang berorientasi individual maupun kemasyarakatan..

Dalam perspektif teoretik, arah dan tujuan kajian Islam dapat diurai dan dielaborasi menjadi dua sisi pandangan. Pandangan teoretis pertama lebih menekankan pada pertimbangan-pertimbangan sosial-kemasyarakatan, Mengingat dalam perpektif ini, islam dipandang sebagai jembatan utama dalam membentuk dan menciptakan sistem nilai, perilaku dan tradisi masyarakat yang mulia, yang dapat dijadikan sebagai teladan sosial pada umumnya. Islam yang dapat mengantarkan perilaku manusia adaptif, komunikatif, egalitarian, terbuka, ramah, dan bertanggung jawab.

Sedangan pandangan teoretis kedua lebih menekankan pada manusia sebagai makhluk individu. Islam tentu harus merespon pada tingkat kebutuhan diri menatap masa depannya, ruang intelektualitasnya, dan minat untuk menstudi Islam. Islam sebagai ilmu pada satu sisi membentuk watak dasar kemanusiannya secara hakiki, dan islam sebagai ilmu bisa merespon kebutuhan dan tuntutan sosial yang dihadapi oleh manusia sebagai makluk individu. Kaitannya dengan pandangan teoretis yang kedua ini, setidaknya ada dua madzhab yang diakuinya. Pertama, berpandangan bahwa tujuan utama Islam adalah mempersiapkan individu meraih kebahagiaan, kesuksesan, dan kekayaan yang bersifat material melebihi para pendahulunya. Islam diharapkan mampu merespon persoalan-persoalan karir sosial ekonomi. Sedangangkan madzhab kedua lebih menekankan peningkatan intelektual dan keseimbangan jiwa aktor Masyarakat islam.

 

 

Scroll to Top