Kamis, 29 September 2022 bertempat di Auditorium Pascasarjana Gedung B lantai 4, Pascasarjana kembali menggelar kuliah umum dengan menghadirkan narasumber tunggal, yaitu Dr. Rumadi Ahmad, MA dan diikuti oleh para dosen, tenaga kependidikan, serta tidak kurang dari 200 mahasiswa baru Pascasarjana UIN Maulana Malik Ibrahim Malang, baik mahasiswa program magister maupun program doktor.
Pada kesempatan acara pembukaan, Direktur Pascasarjana UIN Maulana Malik Ibrahim Malang, Prof. Dr. H. Wahidmurni, M.Pd., Ak., menyampaikan overview tentang seputar isu-isu ekologis yang sedang melanda dunia hingga tahun-tahun terkahir, mulai dari krisis energi, krisis pangan, pemanasan global, dan perubahan iklim yang ekstrem, hingga kemunculan Pandemi Covid 19. Krisis atau darurat ekologis tersebut, menurutnya, terjadi bukan sepenuhnya bersifat alamiah, melainkan juga sebagai akibat dari hubungan resiprokal (timbal balik) antara manusia sebagai representasi sistem sosial dengan berbagai lingkungan ekologis (ekosistem) yang menyertainya. Oleh karena itu, tandasnya, Pascasarjana UIN Maulana Malik Ibrahim tidak bisa berdiam diri menyaksikan berbagai peristiwa yang menimpa linkungan hidup manusia yang dari waktu ke waktu terus mengalami eksploitasi dan perusakan, sehingga mengakibatkan kondisinya berada pada posisi yang tidak setimbang.
Memasuki acara inti dari kuliah umum ini, moderator, Dr. H. M. Lutfi Mustofa, M.Ag., memulai penjelasannya dengan kutipan pernyataan Direktur Eksekutif Program Lingkungan PBB (UNEP), bahwa: ”Dunia kita berada di tepi kehancuran lantaran ulah manusia. Di seluruh planet, sumber-sumber alam dijarah kelewat batas. Disebutkan juga, pada setiap detik, diperkirakan sekitar 200 ton karbon dioksida dilepas ke atmosfir dan 750 ton top soil musnah. Sementara itu, diperkirakan sekitar 47.000 hektar hutan dibabat, 16.000 hektar tanah digunduli, dan antara 100 hingga 300 spesies mati setiap hari. Pada saat yang sama, secara absolut jumlah penduduk meningkat 1 milyar orang per dekade. Ini menambah beban bumi yang sudan renta. Inilah yang sepanjang dua dekade terakhirmenyentakkan kesadaran orang akan krisis lingkungan. Karena, hal ini menyangkut soal kelangsungan hidup jagad keseluruhan”. Selanjutnya, Ketua Program Studi Magister Studi Islam Pascasarjana UIN Maulana Malik Ibrahim Malang tersebut menjelaskan tentang peristiwa-peristiwa yang menggambarkan perkembangan isu-isu kemanusiaan di beberapa wilayah Indonesia dan mencoba mengarahkan pembicaraan pada adanya kemungkinan kondisi darurat ekologis maupun krisis kemanusiaan itu terjadi tidak lain karena terus menguatnya tarik menarik kepentingan (conflict of interest) dan tidak terpeliharanya kesetimbangan dalam relasi resiprokal manusia (sistem sosial) dengan sistem lingkungan (ekosistem)-nya sendiri, sehingga keduanya berada dalam hubungan yang saling merugikan. Setelah itu, moderator memberikan kesempatan sepenuhnya kepada Dr. Rumadi Ahmad, M.A. untuk menyampaikan materinya.
Memulai kuliah umumnya, Dr. Rumadi menyampaikan permohonan maaf, mungkin tidak bisa memenuhi ekspektasi panitia karena isu utama yang akan disampaikannya lebih fokus pada isu-isu kemanusiaan dan keagamaan ketimbang isu-isu ekologis sebagaimana menjadi tema pertemuan ini. Dalam pengantarnya, narasumber menyampaikan gambaran tentang peta gerakan Islam di Indonesia dari global ke lokal. Menurutnya, karakter yang menonjol dari Muslim Indonesia yang sekaligus menjadi distingsinya dari umat Muslim di seluruh dunia adalah sifatnya yang toleran dan moderat. Sebagai umat ataupun bangsa, Muslim Indonesia itu tidak pernah mewarisi dan memiliki memori kekerasan dan peperangan antaragama. Artinya, Indonesia bukan merupakan bagian dari konflik dan peperangan yang terjadi pada pusat-pusat politik Islam di Timur Tengah. Indonesia bukan merupakan bagian dari proxy politik Islam masa lalu.
Selanjutnya, Tenaga Ahli Utama Kedeputian V Kantor Staf Presiden tersebut memaparkan hasil penelitian Pew Research Center dari Amerika yang menjelaskan bahwa pertumbuhan pemeluk agama Islam di dunia diprediksi akan lebih banyak dibandingkan dengan jemaat Kristen. Bahkan, pada 2070, jumlah umat muslim diperkirakan paling besar di dunia. Penelitian Pew ini berdasarkan data yang dimiliki oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa dengan jumlah penduduk pada 2010 dengan total 6,9 miliar jiwa. Pada tahun itu, agama Kristen menjadi mayoritas dengan total 31,4 persen atau sekitar 2,2 miliar jiwa. Sedangkan, agama Islam, sekitar 23,2 persen atau sekitar 1,6 miliar jiwa. Tidak beragama 16,4 persen atau sekitar 1,1 miliar orang. Agama Hindu di angka 15 persen atau sekitar 1 miliar jiwa. Sedangkan agama Buddha mencapai 7,1 persen atau sekitar 487,8 juta jiwa. Agama lokal di angka 5,9 persen atau sekitar 404,6 juta jiwa. Yahudi 0,2 persen atau sekitar 13,8 juta jiwa. Dan agama lainnya mencapai 0,8 persen atau sekitar 58,1 juta jiwa. Pada 2050 dengan total populasi manusia yang diprediksi mencapai 9,3 miliar. Populasi jemaat Kristen pun nyaris diimbangi umat Islam. Yaitu, agama Kristen di angka 31,4 persen dengan total 2,9 miliar jiwa. Agama Islam dengan angka 29,7 persen atau sekitar 2,8 miliar jiwa. Tidak beragama 13,2 persen atau sekitar 1,2 miliar jiwa. Agama Hindu 14,9 persen atau sekitar 1,4 miliar jiwa. Agama Buddha 5,2 persen atau sekitar 487 juta jiwa. Agama lokal sekitar 4,8 persen atau 450 juta jiwa. Yahudi 0,2 persen atau sekitar 16 juta jiwa. Dan agama lainnya 0,8 persen atau sekitar 61,4 juta jiwa.
Namun, terhadap hasil penelitian tersebut, Dr. Rumadi mempertanyakan, kira-kira ketika umat Muslim menjadi mayoritas penduduk dunia tersebut wajah keislamannya seperti apa? Apakah seperti Muslim Indonesia yang toleran dan moderat ataukah justru sebaliknya, Muslim yang intoleran dan radikal? Di kalangan masyarakat Barat berkembang penilaian dan stigma yang menganggap bahwa negara-negara berpenduduk mayoritas Muslim menunjukkan tingkat otoritarianisme yang relatif tinggi bila dibandingkan dengan negara-negara lain, serta mengkonotasikan Islam sebagai penyebab utama umat Muslim tertinggal, karena dibayang-bayangi dengan tindakan kekerasan, dan budaya otoritarianisme tersebut.
Menjawab pertanyaan tersebut, Ketua Lakpesdam PBNU ini menunjukkan hasil elaborasi Ahmad T Kuru (guru besar dan direktur Center for Islamic and Arabic Studies di San Diego University) yang telah terbit menjadi sebuah buku yang berjudul “Islam, Authoritarianism, and Underdevelopment: A Global and Historical Comparison”. Melalui buku ini, Kuru mencoba untuk merekonstruksikan argumen bahwa kalaupun misalnya betul otoritarianisme dan keterbelakangan tersebut melanda dunia Islam, kolonialisme lah yang menjadi salah satu dari sekian penyebab ketertinggalan umat Islam. Dengan mengutip argumen Frantz Fanon, misalnya, Kuru menyatakan bahwa penjajahan yang dilakukan Perancis terhadap Aljazair tidak banyak memberikan opsi bagi masyarakat di Aljazair selain mengambil langkah tegas untuk melawan. Jadi, invasi atau “kolonialisme” yang digencarkan oleh pihak Barat terhadap negara yang mayoritas berpenduduk Muslim, bahkan boleh disebut Indonesia masuk dalam kubangan invasi tersebut, kemudian menstimulasi perlawanan dari pihak Muslim dengan menggunakan alternatif lajur “kekerasan” untuk dapat membebaskan diri dan mendapatkan kembali harkat-martabat kemanusiaan mereka.
Sampai di sini, paparan kuliah umum yang disampaikan oleh Dr. Rumadi berakhir dan dilanjutkan dengan termin diskusi dan tanya jawab yang disambut dengan antusiasme peserta, baik dari unsur dosen maupun mahasiswa. Namum, karena waktu yang selalu saja membatasi gairah dan semangat dalam momen-momen seperti ini bisa berlangsung lebih lama, akhirnya hanya mampu mengakomodasi 4 orang audience saja, yaitu Prof. Roibin (Kaprodi S3 Studi Islam), Fitrah (MPBA), A. Muzakki (S3 Studi Islam), Andi Afriansah (S3 Studi Islam), serta Ahmad Budianto (S2 Stud Islam). Sekalipun hanya 4 audience yang menyampaikan pertanyaan dan tanggapan, namun tidak mengurangi keseruan dalam diskusi dan pembahasan atas gagasan dan pemikiran yang mereka sampaikan serta umpan balik yang diberikan oleh narasumber. *Lutfi