Untuk Apa Agama Hadir atau Dihadirkan?- Seminar Moderasi Beragama Pascasarjana UIN Malang

Selasa, 23/4/2023, Seminar Moderasi Beragama yang diselenggarakan oleh Pascasarjana UIN Maulana Malik Ibraim Malang, dengan tema “Internalisasi Nilai Moderasi Beragama Pada Perguruan Tinggi,” ini menghadirkan tiga narasumber.  Dr. Abdullah Hamid, M.Pd (Dosen UIN Sunan Ampel Surabaya),  Syahril Siddiq, MA., Ph.D (Dosen UIN Sayyid Ali Rahmatullah Tulungagung) dan Dr. H. Ahmad Barizi, M.A(Dosen UIN Maulana Malik Ibrahim Malang)

Seminar ini dibuka langsung oleh Wakil Direktur Pascasarjana, Drs. Basri, MA., Ph.D., dengan menyampaikan terimakasih kepada para narasumber yang hadir dan berharap dapat memberikan wawasan keagamaan yang baik bagi kelangsungan hidup berbangsa dan bernegara.

Menurut narasumber ketiga, Ahmad Barizi, dosen sekaligus Kaprodi S3 PAI Pascasajana UIN Maulana Malik Ibrahim Malang, memulainya dengan pertanyaan-pertanyaan akadamis mengenai agama, eksistensi PTKI, dan relasinya dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. “Ada beberapa hal yang sejatinya perlu dikemukakan untuk mengawali seminar atau diskusi ini. Untuk apa agama hadir atau dihadirkan? Mengapa manusia perlu beragama? Lalu, bagaimana beragama yang baik itu? Dan, bagaimana PTKI, khususnya UIN, ini perannya dalam konteks relasi keagamaan dan kebangsaan di negeri ini?,” ungkapnya.

Menurutnya, agama di dalamnya mengandung berisi nilai-nilai yang relevan bagi seluruh kehidupan manusia. Tidak saja menyangkut hal-hal fisik tapi juga metafisik, lahir dan batin. Tidak saja mengenai hal-hal yang rasional-logis, tapi juga soal mystical-logic (supra-rasional). Di sini kemudian melahirkan respon yang berbeda mengenai agama, termasuk bagaimana agama sejatinya diamalkan. “Manusia itu berbeda, dan itu niscaya,” katanya. Tetapi, menurutnya, perbedaan-perbedaan yang ada mestinya dipahami sebagai rahmah, sebagaimana hadirnya Nabi dan Rasul Saw. diutus dengan membawa agama itu adalah rahmat bagi semua.

Sementara PTKI ini ada telah melewati sejarah panjang, dari STI-UII-IDIA-IAIN, lalu berubah (kembali) ke UIN. Pada kali pertama STI (Sekolah Tinggi Islam) itu diproklamirkan oleh Moh. Hatta pada tanggal 27 Rajab 1364 H/8 Juli 1945 di Jakarta, yang diharapkan dengan STI akan bertemu AGAMA dengan ILMU dalam suasana kerjasama untuk membimbing masyarakat ke dalam kesejahteraan. “Hadirnya UIN, ini sesungguhnya ingin mengembalikan ke cita awal berdirinya STI, yaitu integrasi ilmu dan agama. Tentu, melalui UIN diharapkan lahir sarjana, magister, dan doktor Ulul Albab, yang bisa memadukan ilmu dan agama. Atau, manusia yang berintegritas, dalam agama dan ilmu,” tegasnya.

Mengakhiri “ceramahnya,” Ahmad Barizi mengemukakan bahwa KAMPUS, apalagi yang bernafaskan Islam seperti UIN, ini merupakan wadah pembelajaran komunikasi untuk membangun sinergi positif bagi kelangsungan agama dan kemanusiaan secara menyeluruh, dengan tanpa menafikan peran-perannya yang spesifik dan kontekstual.

 

 

Scroll to Top