Ketika pilihan mengerjakan “sesuatu” tidak didasarkan pada anggukan kearifan dan nilai-nilai rasionalitas – lalu tiba-tiba “mengarang” bahwa sesuatu yang ia kerjakan mampu melahirkan ide cerdas, bahkan kerap menurunkan angka stress, maka sesungguhnya ia sudah terjebak pada apa yang kita sebut kesenangan, kecanduan, tepatnya “ kecintaan” yang tidak berdasar pada logika. Apalagi, ia tahu, bahwa apa yang ia lakukan merusak diri sendiri, dan tanpa sadar membahayakan orang lain. Gemar terhadap pekerjaan yang demikian termasuk perbuatan terlarang, diharamkan oleh Islam. Misalnya, meskipun masih memicu kontroversi, merokok masuk dalam kategori sesuatu yang makruh. Nabi Muhammad Saw sendiri, dalam hal ini mengajarkan agar kita meninggalkan sesuatu yang makruh. Kaidah ushul fiqh menegaskan bahwa ada tidaknya hokum itu berorientasi pada illat, argumentasi, alasan yang menguatkannya. Sehingga, bagi mereka yang mengharamkannya, maka hal itu disandarkan pada beberapa sebab, sesuai dengan kaidah fikih : االحكم يدور مع علته وجو دا و عدما
Adapun hal-hal yang menjadikan merokok itu sarat mudlarat dan tergolong haram, adalah :Pertama, pengaruh negatif rokok dari unsur kesehatan. Kalau si perokok punya persangkaan/menyadari bahwa dengan merokok berakibat negatif terhadap kesehatannya maka merokok menjadi haram, sebagaimana firman Allah SWT : ولا تلقوا بايديكم الي التهلكة ‘’Jangan ceburkan dirimu dalam kerusakan.’’ Mari kita simak data yang disampaikan Seto Mulyadi, Ketua Komnas Perlindungan Anak. Menurut Komnas KPA, industri rokok mengeluarkan dana sekitar 1,6 triliun untuk menjual produk mereka lewat iklan, promosi dan sponshorship. Berarti, ongkos iklan rokok sangat besar. Tetapi, bila dibandingkan dengan biaya yang harus dikeluarkan Negara untuk layanan kesehatan bagi masyarakat akibat rokok, sungguh sama sekali tidak sebanding, misalnya, pada tahun 2005 mencapai Rp.167 triliun, fantastis bukan?
Dari data ini kita berkesimpulan bahwa betapa bahayanya merokok bagi kesehatan – tidak saja pada diri sendiri, tapi juga berbahaya bagi orang lain, dan bisa berakibat pada kematian. Coba kita bayangkan, sebatang rokok itu mengandung tak kurang dari 4.000 zat kimia beracun dan 64 zat karsinogenik yang berbahaya bagi kesehatan dan bersifat adiksi (Kompas, 27/3/09). Sungguh, sangat mengerikan ! Penulis yakin, para perokok sudah maklum dengan data tersebut. Pertanyaannya, mengapa tidak timbul kesadaran untuk berhenti dan keluar dari kebiasaan buruk merokok? Kalau para perokok menyadari bahwa dengan merokok berakibat negative terhadap kesehatan, maka ia akan sadar bahwa merokok bukan pilihan yang tepat atau baik, bahkan haram hukumnya.
Alasan Kedua, tabdzir, menyia-nyiakan harta. Segala pengeluaran harta yang tidak membawa manfaat keduniaan maupun ukhrawi tergolong tabdzir. Pengeluaran harta tersebut baik untuk hal-hal yang haram seperti membeli minuman keras atau hal-hal yang makruh seperti untuk membeli rokok. Sedangkan alasan terakhir, pengaruh negatifnya yang tidak secara langsung, di mana dalam jangka tertentu pengaruh tersebut baru muncul dan berdampak fatal. Hal ini tetap menjadikan merokok haram dilakukan.
Hemat penulis, seluruh warga kampus UIN Malang sepatutnya menghindari rokok. Bukan saja karena alasan agama, tapi merokok dari berbagai sudut pandang (kesehatan, keindahan, kenyamanan) tidak bisa diterima. Maka , sudah waktunya kalau di seluruh ruangan kantor rektorat, fakultas, dan unit di lingkungan UIN Maliki Malang – ditetapkan sebagai tempat yang bebas asap rokok, termasuk sponsor atau reklame rokok itu sendiri.
Dengan demikian, UIN turut menyelamatkan ancaman bahaya merokok. Hidup ini akan lebih bermakna, dan lingkungan kita akan lebih nyaman dan tampak indah, manakala kita tidak tergantung pada rokok, dan memilih untuk tidak memilih kesenangan merokok. Sebetulnya bukan karena adanya larangan merokok, tapi warga menyadari merokok sepatutnya dihindari. Wallahu ‘alam.-