Agama dan Zionism: Pertarungan Politik Antara Nafsu Kekuasaan dan Tafsir Agama

OPINI

Oleh : Drs. Basri MA., Ph.D

(Wakil Direktur Pascasarjana UIN Maulana Malik Ibrahim Malang)

What a Meaningful Lesson! Pada Prinsipnya, manusia tidak boleh membenci dan prejudiced pada orang lain hanya karena latar belakang agama dan etnis. Bukannya tidak mungkin yang kita hina, nistakan, dan diskriminasi  lebih humanis dan memiliki hati nurani yg lebih bening dan civilized. Cara pandang kita terhadap satu persoalan atau fenomena tidak boleh dipaksakan sama, tidak bersikap ethnocentric dengan membenarkan semua tindakan, perilaku bahkan sikap/pilihan keberagamaan kita sendiri (exclusive).

Hal ini sangat penting untuk dipahami bahwa diskriminasi, penghinaan, dan sikap prejudiced hanya akan merusak hubungan antar individu dan masyarakat. Jika kita berusaha untuk menjadi lebih humanis dan memiliki hati nurani yang bersih dan beradab, kita harus menghormati perbedaan dan menghargai keragaman yang ada di dunia ini. Tidak ada alasan yang sah untuk membenarkan tindakan atau perilaku yang merugikan orang lain hanya karena perbedaan agama atau etnis.

Pengalaman saya yang sebentar di Timur Tengah, semakin menegaskan keyakinan saya bahwa sikap nasionalisme Kristen dan Yahudi Arab tidak kalah dengan yang Muslim. Bahkan,  sebaliknya tidak jarang Arab sendirilah yang Muslim mengkoyak-koyak dan meruntuhkan cita-cita suci Arab Nationalism combined with relgion yang telah lama dibangun dan dimimpikan oleh tokoh-tokoh besar (الله يرحمهم) seperti Naser, Aflaq dll. Sekarang agama yang dipahami secara sempit dan “autoritatif” oleh sekelompok kecil Arab  di Timur tidaklah menjadi variable penting untuk membagun kembali imajinasi Naser. Tetapi, justru telah menjadi alat perusak dan pengubur.

Fenomena relasi agama dan stateb di Indonesia juga sudah mulai memprihantinkan. Para Islamist indonesia, Not Islamicist, (kedua term yg berbeda konotasinya) menjadikan kelompok Islamist Arab konservatif yang berorientasi pada kitab atau taymiyah minded  sebab reference utama dalam ijtihad membangun nation-state di Indonesia. Bukan sebaliknya Naser yang telah gagah melawan imperialisme dan kapitalisme Barat. Justru lebih memperihatinkan, Naser tidak jarang dicap tidak religious oleh kelompok tersebut. Dalam konteks ini, muncullah qutub dengan konsep hakimiyah sebagai precedence buruk terhadap runtuhnya supremasi state dan bangkitnya konservatisme dan fundamentalisme agama.

Kita tetap berdo’a untuk masa depan bangsa Palestina. tetapi, jangan terlalu berharap dan menggantungkan keadaban dan perdamaian dunia pada Dewan Kehormatan PBB. Mereka adalah budak-budak dan boneka 5 negara besar: Amerika, Russia and China plus France dan UK si pemilik veto. Selantang apapun suara anggota Dewan Kehoramatan, pada akhirnya suara tersebut akan mengendap di ketiak negara 5 negara yang berkuasa. Kalaupun suara mereka melawan kepentingan Amerika,  amerikalah yang veto. Sebaliknya, tone-nya melawan china atau russia (faksi sosialis komunis, timur), 2 negara inilah yg akan memveto. What a “weird” world.

Jelas, kita tidak boleh menutup mata dg kekejaman Israel dan negara-negara Barat yg memback-up Israel, seperti Amerika, UK, dll. Namun, sebaliknya, kita tidak boleh bersikap simplistik dalam melihat persoalan Palestina-Israel. Apa yg terjadi sekarang tidak boleh dilihat semata-mata sebagai incident yg berdiri tunggal, tanpa historical precedences. Artikel yang ditulis Rashid memotret what’s going di internal Palestina. Jangan kita mengira Palestina sekarang sebagai entitas nation-state yang damai dan sempurna, apalagi Islami. Di dalamnya banyak friksi  dan pertarungan antar elit yg muaranya adalah kekuasaan (baca teori Marx, Hitorical Dialectics). Rashid mengatakan bahwa tahuan 2007 ketika Hamas mengambil alih kekuasaan Fata di Ghaza, keadaan internal palestina memanas yg berujung pada kekerasan bahkan saling bunuh. Dan ini menjadi precedence terhadap polarisasi (bahkan) retaknya hubungan Hamas/Ghaza dan Fata di west Bank. Konsekwensinya adalah terbelahnya dua kekuasan/pemeritahan yang satu sama lain tidak akur, yang serupa dengan perang dingin tahun 1945-1992. Ghaza/Hamas memiliki akar yg kuat di kalangan kelompok Islamist dan “konservatif” yg basis perlawannya terhadap Israel adalah “religiously motivated”. Sementara, Fata lebih pada Arab Nationalism, yaitu bangkitnya kesadaran nasionalisme Arab utk melakukan perlawan terhadap ISrael.  Dan inilah di antara carut marut di Palestina yg dilatatar belakangi oleh kepentingan kekuasaan, bukan agama.

Seharusnya kita lebih cermat dalam membedakan agama dan zionism. Zionisme adalah gerakan politik global yg menggunakan agama sebagai alat legitimasi untuk membangun the imagined state in Palestine (Negara yg mereka klaim sebagai warisan David and Solomon, then Moses).  bermula dari kesadaran teologis orang-orang Yahudi, khususnya di Eropa, untuk kembali ke tanah historis mereka, Zubabel dalam bukunya, the Recovered Roots menyebutnya sebagai fenomena “kembali ke ke asal mula” (eliyah dalam bahasa Ibrani). Kemudian, awal abad 20, di mana Germany kalah dalam WW I,  muncullah sosok Hitler yg membuat kebijakan anti-semitism. Saat itulah yang menjadi titik awal arus migrasi Yahudi global ke tanah yg mereka mimpikan. Dan mimpi tersebut secara politik diback-up oleh kebijakan Balfour (Baca Charles D Smith: 2004). Sementara, Yahudi/Judaism (seperti yang kita  ketahui) adalah agama, yg diktumnya bisa ramah, marah, dan juga galak alias violent, tegantung lde siapa yg memahami, menerjemah dan mengejeahwantakan teks sucinya.

Fenomena meleburkan atau mengkooptasi agama ke dalam politik demi syahwat kekuasan inilah yg oleh Bassam Tibi (2004) disebut religionized politics (istilah baru, bukan Politicized releigion). Jadi, ketika masuk pada wilayah pemahaman dan pemihakan, wahyu yang secara isensial ramah tiba-tiba menjadi garang. Jelas di sana ada atau banyak Yahudi yang galak jagal. Tetapi ada/banyak  juga Muslim di Arab sana, sebagian juga di Indonesia yg nafsu ingin membunuh lawan mazhab dan teologisnya. Banyak sekali kasus that substantiates this fenomenon.

Banyak orang tidak menyadari, bahkan di antara kita sendiri, bahwa Israel memiliki multi-partai. Kurang lebih ada 11 Partai Politik, yang 5 di antaranya, adalah partai liberal, kiri, dan “relatif moderat”. Ada 2 yang berbasis Arab karena hampir 20% penduduk Israel adalah etnis Arab. Ke-5 partai tersebut menentang kebijakan pendudukan dan pencaplokan tanah dan hak-hak warga palestina. Hanya saja, dalam pemilu legislatif, 2 partai yg selalu dominan dalam prolehan suaranya, yaitu either LIKUD atau LABOR Parties. Dua kekuatan ini selalu silih berganit menakhodai pemerintahan Israel. LABOR Parties selalu fluktuatif: terkadang bisa menahan diri dengan sedikit  menunjukkan sisi-sisi kemanusiaannya pada Palestina, di lain waktu mereka juga kembali ke habitas zionismenya. Sementara, LIKUD dengan fraksinya konsisten sebagai aliansi kejam tidak manusiawi. Dengan kata lain, apa yang terjadi di Israel adalah pertarungan politik yg diilhami oleh nafsu kekuasaan dan tafsir agama. Kekuasaan dan agamalah yg menuntun mereka untuk mencaplok dan membunuh. Ini juga bisa dibuat analogi dengan Wahabi di Saudi. Agama (wahabj) dan State berkolaborasi untuk mendiskrimimasi bahkan membunuh warga Syi’ah di bagian Timur Saudi. No wonder banyak warga Shi’ah yg melarikan diri dan tinggal di UK. Inilah yg oleh Bernard Lewis disebut sebagai kolaborasi indah: Wahabi as Ideological Assurance for Saudi, State as Financil Assurance for Wahhabi.

*Opini ini dikutik dari hasil Diskusi Group Whatsapp Forum Dosen Pascasarjana UIN Maulana Malik Ibrahim Malang.

Scroll to Top