Kaprodi S3 Studi Islam UIN Malang Bincang Potret Moderasi Beragama Indonesia di Fakultas Pengajian UKM Malaysia

Malaysia, 17 Juli 2024. Kegiatan seminar Internasional ini diadakan oleh Fakultas Pengajian Islam UKM Malaysia sebagai bentuk realisasi Kerjasama dengan Program Doktor Studi Islam Pascasarjana UIN Maulana Malik Ibrahim Malang. Seminar Internasional ini bertajuk Moderasi beragama di Kampus Indonesia. Kegiatan seminar ini dilaksanakan pada tanggal 17 Juli 2024 di Gedung Pertemuan/ Bilik Mesyuarat Prof. Tan Sri Dato’ Abdul Jalil Hj. Hasan Fakulti Pengajian Islam UKM pada pukul 10.00-selesai. Kegiatan ini diikuti oleh para  pimpinan Fakultas, Dekan, wakil Dekan, para penolong dekan, pensarah/ dosen, siswa/zah/ para mahasiswa/I lintas bidang ilmu. Ilmu dakwah dan kepemimpinan, usuluddin, Bahasa dan tamaddun islam, psikologi, dll. Kegiatan ini juga diikuti oleh para Guru besar lintas program studi, tidak terkecuali para dosen di lingkungan Fakulti Pengajian Islam UKM Malaysia.

Seminar ini selain diikuti oleh unsur pimpinan, juga diikuti oleh para mahasiswa level magister dan Doktor lintas disiplin ilmu. Kegiatan ini dihadiri Oleh Prof. Dr. H. Roibin, MHI sebagai narasumber utama dalam kajian Moderasi beragama di Kampus-kampus Indonesia dan Prof. Madya Dr. Ahmad Irdha Mochtar pensarah pusat Dakwah dan kepemimpinan FPI UKM Malaysia sebagai narasumber ke 2, Bapak Dekan FPI UKM Malaysia Prof. Dr. Ahmad Sunawari Long, para wakil/ timbalan dekan dan para pembantu/ penolong dekan, Para Kaprodi dan Sekprodi dan para mahasiswa/i di lingkungan FPI UKM Malaysia.

Prof. Roibin dalam memulai kajiannya banyak menyinggung surat al-hujurat ayat 13, surat al-anbiya’ 107, surah al-Baqarah 143, al-A’rof 156, al-An’am 12. Menurut Prof. Roibin secara fitrah manusia memang dihadapkan pada sebuah heterogenitas. Heterogenitas adalah salah satu entitas penting bagi Allah untuk menguji makhluknya yang paling mulia ialah manusia. Heterogenitas kata beliau adakalanya dalam bentuk perbedaan jenis kelamin, bangsa, kabilah, dan dari perbedaan itu muncul perbedaan bahasa, budaya, warna kulit, suku, keturunan, kelompok, pemikiran dan keinginannya. Perbedaan/ heterogenitas itu menurut Roibin adalah annisbah, artinya sesuatu yang terjadi pada diri manusia bukan karena keinginannnya, prestasinya, maupun harapannya, melainkan ia terjadi pada diri manusia karena pemberian dari Allah yang bersifat mutlak. Dengan demikian ia adalah karya dan pemberian Allah semata. Atas dasar ini jika annisbah itu ditempatkan oleh manusia untuk dijadikan sebagai dasar menentukan kemuliaan martabat manusia, tindakan ini menurut beliau adalah salah, tidak dibenarkan oleh agama bahkan disebut sebagai dosa besar yang berimplikasi sangat membahayakan bagi kelangsungam kehidupan manusia. Dalam bahasa sosiologi disebut dengan rasisme. Suatu sikap dimana manusia atau kelompok tertentu merasa lebih baik, lebih hebat jika dibandingkan dengan manusia atau kelompok lain dengan pertimbangan dan dasar annisbah ini. Keragaman ini diciptakan oleh Allah hanya semata menjadi media di antara manusia untuk saling memahami, menghayati, hingga saling mengenali. Kesuksesan manusia dalam menjalankan peran-peran kemanusiaan ini dalam upaya membekali diri sebagai modal potensial memasuki pintu baru yang disebut taqwa. Konsepsi taqwa lebih menunjuk pada prestasi manusia yang berkualitas. Kemuliaan dan derajad manusia hanya ditentukan oleh ketaqwaannya/ atau prestasinya. Manusia yang berprestasi adalah manusia yang menyadari atas seruan dan pesan-pesan moral ajaran agamanya hingga bertindak baik dan mulia kepada siapapun dan dimanapun tanpa menghitung latar statusnya masing-masing. Sikap ini sebagaimana ayat yang dikemukakan oleh beliau  di atas adalah bentuk ekspresi untuk meneladani akhlak Allah yang telah mengajarkan kebaikan Universal.

Usai menjelaskan ayat di atas beliau berusaha memberikan perspektif moderasi beragama dengan menukil pikiran-pikiran kontekstual Cak Nur, Azyumardi, dan Gus Dur. Pemikiran Nurcholis Madjid tentang moderasi beragama menurut Roibin adalah sikap yang menggambarkan cita-cita universal untuk mewujudkan keselamatan, keadilan, kedamaian, yang bersendikan nilai-nilai tauhid dan sifat dasar kemanusiaan. Sedangkan Azyumardi katanya lebih merujuk kepada pesan yang tertuang dalam falsafah negara kita Pancasila. Sebab kedua aspek tersebut telah merekatkan kemajemukan dan kebhinekaan anak bangsa, sementara dalam pemikiran Gus Dur moderasi beragama adalah mengajarkan pesan-pesan damai sedangkan ekstremis memutarbalikkannya. Kita butuh Islam ramah, bukan marah. Ada 9 nilai moderasi dalam perspektif Gus Dur, 1. Ketauhidan, 2. Kemanusiaan, 3. Keadilan, 4. Kesetaraan, 5. Pembebasan, 6. Kesederhanaan, 7. Persaudaraan, 8. Kesatriaan, dan 9. Kearifan Tradisi/ budaya lokal.

Prof. Roibin juga mengungkapkan beberapa tantangan moderasi beragama ke depan yang mesti dihadapi masyarakat muslim, antara lain adalah 1) adanya sikap keagamaan yang berlebihan, melampaui batas, dan ekstrem, sehingga justru bertolak belakang dengan esensi ajaran agama. 2). Munculnya perilaku klaim kebenaran atas tafsir agama. 3). Pemahaman tekstual dan skriptural terhadap agama, hingga melahirkan praktik fundamentalisme dan radikalisme dalam beragama. 4). Pemahaman bebas dan liar yang melahirkan perilaku liberalisme dan sekularisme. 5). pemahaman yang merongrong atau mengancam terhadap ikatan kebangsaaan. Namun demikian dibalik tantangan yang memerlukan energi dan perjuangan yang masih panjang dan melelahkan, sesungguhnya praktik moderasi beragama menurut beliau dalam seminarnya juga memiliki peluang signifikan di masyarakat Indonesia. Hal ini karena dilatarbelakangi bahwa masyarakat Indonesia adalah masyarakat yang secara sosio-antropologis relevan dengan 1). watak budaya lokalitasnya masing-masing, mengingat ia adalah konstruk kognisi yang bertemali dengan sejarah sosialnya. 2). Sarat dengan sikap-sikap yang positif seperti bergotong-royong, saling empati, dan peduli serta bergaul tanpa memandang latarbelakang status agamanya. 3). Sangat mudah ditemukan dalam cerita-cerita rakyat yang diyakini yang tersebar di belahan penjuru Indonesia, Ia hadir sebagai sistem nilai yang efektif.

Mengapa moderasi beragama sangat penting, baik dalam konteks pemahaman hingga praktik dalam kehidupan masyarakat yang plural? Dalam seminarnya beliau menjelaskan bahwa keberhasilan masyarakat dalam memahami dan mengimplementasikan moderasi beragama dapat berdampak dalam kehidupan masyarakat yang sangat luar biasa. Beberapa dampak moderasi beragama tersebut adalah 1). mencairnya batas-batas/ sekat sosio-teologis yang ketat dan rigid, hingga menghilangkan kecemburuan, kecurigaan, dan jarak di antara para penganut agama tanpa harus meleburkan keyakinan mereka masing-masing terhadap kepercayaan lain. 2). Termanifestasinya keharmonisan, perdamaian, kerukunan, kasih sayang, persamaan, kesetaraan, keamanan, ketentraman di tengah masyarakat multikultural. 3). Terbentuknya kohesivitas sosial lintas agama, budaya, idiologi, pemikiran, ras, suku, etnis, bahasa, keturunan, jenis kelamin, dll.

Lebih spesifik implementasi moderasi beragama tersebut dalam potret kampus Universitas Islam Negeri Maliki Malang menurut Roibin dikelompokkan ke dalam 3 Aspek. Pertama ; aspek Kelembagaan, dengan melakukan Integrasi pesantren dan kampus. Langkah ini dilakukan karena suatu pemikiran bahwa belum pernah lahir seorang ilmuan sejati selain ilmuan yang lahir dari pesantren dan kampus. Atas dasar alasan inilah kampus meniscayakan adanya pesantren di dalam kampus. Dari sinilah akan lahir ulama yang intelek dan intelek yang ulama. Agamawan akan lahir dari pesantren dan cendekiawan akan lahir dari kampus. Dengan demikian pengalaman ini akan mengkonstruk nalar berfikir kohesifitas antara agamawan dan cendekiawan, tidak saling cemburu, konflik, bertentangan dan kontra. Kedua ; aspek keilmuan, baik secara ontologi maupun epistemologi berusaha menggabungkan dua sumber sekaligus, yaitu dari sumber teks dan konteks dalam proses pembelajaran dan researchnya, menguasai dan memperhatikan dua objek studi, baik studi normatif-teosentris maupun empiris-sosiologis dalam lingkup studinya, dan mendialogkan secara multperspektif dari berbagai pendekatan, baik pendekatan bayani, burhani, maupun erfani dalam analisisnya. Ketiga; aspek tradisi, menggabungkan antara watak, perilaku dan sikap keagamaan tradisionalis dan modernis dalam keberagamaannya.

Langkah-langkah di atas menurut Roibin sinergis dengan perpres Nomor 58 Tahun 2023 oleh Presiden Joko Widodo pada 25 September 2023. Pasal 1 Perpres tersebut menjelaskan moderasi beragama sebagai pandangan, sikap, dan praktik beragama dalam kehidupan bersama yang mengejawantahkan esensi ajaran agama dan kepercayaan, dengan tujuan melindungi martabat kemanusiaan dan membangun kemaslahatan umum. Prinsipnya adalah adil, berimbang, dan tunduk pada Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Perpres ini menginspirasi munculnya deklarasi Griya Moderasi Beragama dan Bela Negara pada Perguruan Tinggi Umum dan PTKI di seluruh Indonesia. Dalam deklarsi tersebut terutama yang dimotori oleh UI menghasilkan lima komitmen utama. Pertama, memperkuat dan mengembangkan konsep Islam Rahmatan Lil ’Alamin. Kedua, meningkatkan komitmen kebangsaan, toleransi, anti-kekerasan, dan sikap akomodatif terhadap budaya lokal. Ketiga, menanamkan rasa cinta tanah air, kesadaran berbangsa dan bernegara, kesetiaan kepada Pancasila sebagai ideologi negara, kesiapan berkorban untuk bangsa dan negara, serta memiliki kemampuan awal bela negara. Keempat, menyebarkan dan mendorong nilai-nilai moderasi beragama dan bela negara di perguruan tinggi umum. Terakhir, bersedia menjadi garda terdepan dalam melaksanakan moderasi beragama dan bela negara. *roibin

Scroll to Top